Rabu, 07 Oktober 2009

Ini tentang sebuah hubungan yang dibangun bukan hanya karna cinta namun kepercayaan dan kejujuran. Dimana dua sifat dan jenis berbeda mengikrarkan sebuah komitmen untuk menjalani kebersamaan namun dengan jarak yang berbeda...


hari ini hari yang berat untuk ningsih, dimana hari ini dia mendapatkan masukan dari kiri dan kanan mengenai orang terkasihnya. Bagaimana dia harus mendengar jika Teguh kekasihnya mempunyai perangai yang buruk dan segala macam yang dirasa sangat merugikan dirinya...

"perlu kamu tau Ningsih, mana bisa kamu berhubungan dengan orang yang tak bisa kamu lihat kesehariannya, kebiasaannya dan asal usulnya. Kok kamu bisa percaya gitu aja tentang dia, nih ya.. aku denger dari seseorang yang pernah dekat dengan dia, cowokmu itu orang nggak bener dengan masa lalu yang nggak jelas juga, kok kamu mau sama orang macam itu..."

"Jangan kamu kira cuma kamu aja yang dijanjikan ini dan itu olehnya. Kamu tuh naif banget sih jadi orang. aku nggak punya maksud apa-apa, cuma kasian aja sama kamu yang udah tulus cinta sama dia tapi dianya...."

"Pernikahan itu bukan cuma untuk satu hari, sebulan atau dua bulan, jika ada pilihan lain kenapa nggak cari yang lain yang lebih mapan dan bisa kita lihat kesehariannya.., sedangkan dia jika pekerjaannya seperti itu apa dia nanti mampu membiayai rumah tangganya. jangan dikira bahwa berumah tangga itu enak dan gampang ...."

Itu separuh opini siang tadi yang ningsih terima dari rekan kerjanya, dan bukan sedikit dia menanam kegelisahan dalam hatinya. Mau tidak mau Ningsih juga memikirkan dan menimang masukan dari rekan-rekannya itu. bahkan hingga ia rebahkan di kamar berukuran 2x4 bercat biru muda, kasur yang empuk tak membuatnya nyaman dan bisa memejamkan mata. kata-kata rekannya terngiang terus ditelinganya.

Adzan Magrib tak terasa telah mengetuk hari yang beranjak malam, masih dengan kegelisahan Ningsih melangkah menuju pancuran belakang rumahnya, berwudhu "Ya Allah... semoga aku bisa mendapatkan jawaban atas kegelisahan ini" gumamnya setelah selesai berwudhu..

"Bu....." Ningsih mendekati ibunya yang duduk sambil menyulam kruistik bergambar garuda diberanda rumah. Wanita tua itu membetulkan letak kacamatanya sebelum menoleh pada putrinya yang berdiri pintu. "Ada apa.. kok tumben manggil ibu dengan suara seperti itu..." ucapnya sambil tersenyum

"Bu.. aku mau tanya sesuatu sama ibu..?" Ningsih menghela nafas sebelum melanjutkan ucapannya. "bagaimana menurut ibu sosok Teguh? apa ibu suka kalo aku berhubungan dengan dia? trus ibu setuju nggak sama hubungan kami?" Ningsih duduk di teras dan menyandarkan kepalanya di lutut ibunya yang masih asik menyulam. Ibunya tersenyum melihat tingkah putrinya yang memang selalu membicarakan semua hal padanya dan selalu meminta pendapatnya, dan wanita itu mengerti dan tau apa yang ningsih rasakan saat ini. Dengan tangannya yang tak muda lagi, diusapnya rambut legam yang menjuntai hampir ke lantai penuh kasih.

"Nak... ibu belum bisa bilang apa-apa tentang teman dekatmu itu, toh kan baru kemaren dia main kerumah. Kita lihat saja nanti ya, kalo dia sudah sering kemari dan ngobrol sama ibu juga sama kakakmu. sekarang kalian saling mengenal saja dulu satu sama lain, jangan terburu-buru, hmmm.. memangnya ada apa kok sepertinya kamu gelisah sekali ?"

Ningsih memeluk kaki ibunya, diam tak menjawab. terhanyut selayak ranting yang dipatahkan pemburu saat menembak binatang buruannya. mengapung diantara riak yang membawanya ke tiap arah yang dibawa air. "Ning...." ibu menggoyangkan pundak putrinya yang tidak menjawab pertanyaannya...

"hmmm.. nggak kok bu, hanya saja hari ini banyak sekali masukan dari rekan ning yang mengatakan hal yang membuat ning gelisah..." jawab ningsih tanpa merubah posisinya..

"memang apa yang dikatakan temen-temenmu itu sampe kamu kayak gini. hmm.. biasanya kamu tuh paling bisa menyaring masukan, nah sekarang malah kebingungan"

"ning nggak bakal bingung kalo opini mereka berbeda bu, karna mungkin ning bisa menelaahnya. tapi ini opininya hampir sama dan menyudutkan Teguh, dan itu yang membuat keyakinan ning goyah bu..." ucap ning.

"hmm.. trus menurut hati kamu sendiri gimana?" tanya ibu meletakkan kruistik yang hampir selesai. "hati ning berkata bahwa Teguh nggak seperti itu bu, hati ning masih yakin bahwa Teguh itu serius sama ning dan bersungguh sama hubungan kami".

"kalo gitu ya sudah, untuk saat ini kamu turuti saja kata hati kamu. Tapi kamu harus berdoa dan meminta petunjuk sama Allah untuk hal ini, semoga diberikan pilihan yang terbaik buat kamu" ucap ibu menepuk bahu Ningsih dengan lembut.

Ningsih mengangguk, lega menyeruak kedalam dada. Gadis itu merasa sedikit terangkat pening dikepalanya. Ningsih sangat mempercayai ibunya dalam segala hal, dan ibu adalah orang pertama yang harus tau apa yang telah ia lakukan dan apa yang akan ia putuskan. Bagi Ning hatinya sama dengan ibunya, jadi kebahagiaan ibu adalah kebahagiaan terbesarnya.

"jai ho...you are the reason i aggree, you are the reason i will stil belive... you are my destiny..jai ho..." dering seluler membangunkan ning dari lelapnya malam yang masih menyisakan gundah. dengan malas diraihnya HP itu masih dengan sisa kantuk, dilihatnya nama yang tertera di layar mini "koni..." gumamnya.

"Hallo ... assalamu'alaikuuum... Koniiii... kemana ja si loo..." seketika kantuk lesap, Koni adalah sahabatnya sewaktu kerja di perusahaan tekstil 4 tahun silam. meski jarang ketemu dan memberi kabar, tapi mereka tak putus kabar.

"Weeeiii.. wa'alaikum salam, gue adaa.. neee lagi nelfon loo...hmm.. kangen banget gue ma lo ning. Gimana kabar lo sama mama?" ucap koni

"Alhamdulillah baik, lo sendiri gimana? weeiiss.. denger-denger dah punya gebetan baru nih. huhu... cerita dunk, kapan kita ketemu yaaa.. iihh..gue juga kangen ma lo.. ntar kita makan bakso rudal yang ada di jalan Anggrek itu ya.. "

"Oke.. sip..sip.. gue tunggu loh, kapan mo kesini. Oya gimana nih, sama siapa lo sekarang?"
"jangan-jangan masih jomblo lagi.. hahahahaha..."

"hehehe.. gue mang lagi deket ma cowo, tapi sekarang gue lagi bingung ni kon..." ucap ningsih teringat kembali kegelisahannya. lalu diceritakannya tentang opini rekan kerjanya tentang Teguh, koni menyimak cerita sahabatnya itu dengan seksama.

"Ning, masukan dari luar itu emang sah-sah aja namanya juga opini iya kan? tapi menurut hati lo sendiri gimana?" Koni menjawab cerita ning berusaha menenangkan sahabatnya itu.

"yaaa.. kalo menurut hati gue, aku percaya kalo Teguh itu nggak seperti yang mereka omongin. emang sih dia punya masa lalu yang mungkin menurut sebagian orang itu sebuah aib. tapi bagiku apakah selamanya orang itu dengan sikap yang sama tanpa ada perubahan? aku yakin dia tak seperti masa lalunya, dan aku yakin jika aku tulus mencintainya dia akan merasakan itu dan berusaha juga untuk menjaga kepercayaanku sama dia..." urai ning meluapkan emosinya

"Good.. i like it, thats my bestfriend. betul itu, tak ada yang tak mungkin dan jika kita bisa menjadi orang yang bisa merubahnya menjadi lebih baik bukankah kita juga berpahala? jadi ikuti saja kata hatimu, aku akan selalu mendukungmu sahabatku... semangat !! ahahaha.. masih inget kan lo sama slogan kita?"

Ningsih tersenyum, mengangguk, dia mendapatkan kembali keyakinan akan Teguh yang telah menanamkan kasih sayang dan bertekad untuk menjaga itu selamanya..
"lo emang bestfriend gue Kon.. pengen meluk lo rasanya. hahahaha.. tapi nggak mau ah, tar dikira lesbi lagi..hahahaha" mereka tergelak di malam dingin namun aura kehangatan memancar dari kedua sahabat itu.

"ya udah, tar kita sambung lagi ya. ngantuk ni gue.. dah jam 2 malem gilaa...besok gue mesti dateng pagi ada deadline. inget ya Ning... turuti kata hatimu, karna kamu yang menjalani semua dan hasil akhirnya kamu serahkan sama yang diatas okeh...bye.. Assalamu'alaikum" Koni pamit..

Setelah Ningsih meminta pendapat ibu dan sahabatnya, segera ia menuju nama yang selama dua bulan ini mengisi warna dalam hidupnya...

"Assalamu'alaikum... Guh..." sapa gadis itu, setiap kali ia menelfon Teguh hatinya merasa damai dan nyaman.

"Wa'alaikum salam, ning. ada apa?.." jawab Teguh